ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut)
oleh: Muhammad Wahid Muslim
2.1.ISPA
2.1.1. Definisi ISPA
ISPA sering disalah artikan sebagai infeksi saluran pernapasan atas. Yang benar, ISPA merupakan singkatan dari Infeksi Saluran Pernapasan Akut istilah ini diadaptasi dari istilah dalam bahasa Inggris Acute Respiratory Infections (ARI). Istilah ISPA meliputi tiga unsur yakni infeksi, saluran pernafasan dan akut, dengan pengertian sebagai berikut:
1. Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisma ke dalam tubuh manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit.
2. Saluran pernafasan adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli beserta organ adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah dan pleura. ISPA secara anatomis mencakup saluran pernafasan bagian atas, saluran pernafasan bagian bawah (termasuk jaringan paru-paru) dan organ adneksa saluran pernafasan. Dengan batasan ini, jaringan paru termasuk dalam saluran pernafasan (respiratory tract)
3. Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa penyakit yang dapat digolongkan dalam ISPA proses ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari.
2.2.Riwayat Alamiah ISPA
2.2.1. Klasifikasi ISPA
ISPA terdiri dari sekelompok kondisi klinik dengan etiologi dan perjalanan klinik yang berbeda. Sampai saat ini ISPA diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Klasifikasi Berdasarkan Lokasi Anatomik
· ISPA bagian atas
Infeksi akut yang menyerang hidung sampai epiglotis dengan organ adneksanya, misalnya : rinitis akut, faringitis akut, sinusitis akut, dan sebagainya.
· ISPA bagian bawah
Dinamakan sesuia dengan organ pernafasan, mulai dari bagian bawah epigltis sampai alveoli paru, misalnya : trkeitis, bronkitis akut, bronkiolitis, pneumonia, dan lain-lain.
2. Klasifikasi ISPA Berdasarkan Etiologi (Penyebab)
Etiologi ISPA terdiri dari 300 lebih jenis virus, bakteri dan ricketsia (Depkes RI, Ditjen PPM&PLP, 1993) :
· Virus penyebab ISPA antara lain golongan Mikovirus (termasuk di dalamnya virus influenza, virus parainfluenza dan virus campak), Adenovirus, Koronavirus, Pikonavirus, Mikoplasma, Herpes virus, dan lain-lain.
· Bakteri penyebab ISPA misalnya Streptokokus hemolitikus, Stafilokokus, Pneumokokus, Hemofilus influenza, Bordetella pertusis, Korinebakterium, Difteria, dan lain-lain. Beberapa diagnosis berdasarkan etiologi ini misalnya Difteria, Pertusis Influenza.
3. Klasifikasi ISPA yang Tercantum Pada DTD (Daftar Tabulasi Dasar)
Dalam DTD yang disusun berdasarkan ICD (International Classification of Disease) dan dipakai pada penyusunan laporan data kesakitan dari Puskesmas maupun Rumah Sakit, ISPA belum disusun dalam satu kelompok penyakit. Diagnosis ISPA dalam daftar tersebut merupakan gabungan dari klasifikasi anatomik dan etiologi, antara lain: difteria, batuk rejan, radang tenggorok Streptokok, campak, tonsilitis akut, laringitis dan trakeitis akut, pneumonia, influenza.
2. Klasifikasi ISPA Berdasarkan Derajat Keparahan Penyakit
a) ISPA Ringan, penatalaksanaannya cukup dengan tindakan penunjang, tanpa pengobatan antimikroba. Tanda dan Gejala ISPA Ringan :
- Batuk
- Pilek
- Serak, yaitu anak bersuara parau pada waktu mengeluarkan suara (misalnya waktu berbicara atau menangis).
- Panas (demam), suhu badan lebih dari 37oC (kalau dengan alat pengukur suhu badan) atau jika dahi anak diaraba dengan punggung tangan terasa panas.
- Termasuk juga ISPA ringan : keluarnya cairan dari telinga (congekan) yang lebih dari 2 minggu tanpa rasa sakit pada telinga.
b) ISPA Sedang, penatalaksanaanya memerlukan pengobatan dengan antimikroba, tetapi tidak pelu dirawat (cukup dengan berobat jalan). Tanda dan Gejala ISPA Sedang:
- Pernafasan yang cepat (tanda utama), lebih dari 50 kali per menit pada anak yang berumur kurang dari 1 tahun atau lebih dari 40 kali per menit pada anak yang berumur 1 tahun atau lebih.
- Suhu lebih dari 39oC
- Tenggorokan berwarna merah
- Timbul bercak-bercak pada kulit menyerupai bercak campak
- Telinga sakit atau mengeluarkan nanah dari lubang telinga
- Pernafasan berbunyi sperti mengorok (mendengkur)
- Pernafasan berbunyi mencuit-cuit.
c) ISPA Berat, kasus ISPA yang harus dirawat di Rumah Sakit atau Puskesmas dengan sarana perawatan. Tanda dan Gejala ISPA Berat:
- Tanda dan gejala ISPA ringan atau sedang ditambah dengan atu atau lebih tanda gejala berikut :
- Perhatikan dada ke dalam (chest indrawing) pada saat menarik nafas (tanda utama)
- Stridor (pernafasan ngorok)
- Tak mampu atau tak mau makan.
Tanda dan Gejala ISPA berat antara lain :
- Kulit kebiru-biruan (sianosis)
- Nafas cuping hidung (cuping hidung ikut bergerak kembang kempis waktu bernafas)
- Kejang
- Dehidrasi
- Kesadaran menurun
- Terdapatnya membrane (selaput) difteri.
2.3.Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian ISPA (Faktor Risiko ISPA).
1. Faktor Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)
Adalah mudah memahami mengapa bayi yang dilahirkan dengan BBLR (berat badan bayi < 2500 gram) mudah terserang ISPA, karena bayi dengan BBLR memiliki sistem pertahanan tubuh yang rendah terhadap mikroorganisme patogen. Dengan infeksi ringan saja sudah cukup membuat sakit, sehingga bayi BBLR rentan terhadap penyakit infeksi termasuk penyakit ISPA (Sutrisna, 1993).
2. Faktor Umur
Anak-anak berumur 0-24 bulan merupakan kelompok umur yang rentan terhadap berbagai penyakit infeksi dan membutuhkan zat gizi yang relatif tinggi dibandingkan dengan kelompok umur lain (Singarimbun, 1988; Harahap, 2001). Usia sangat terpengaruh terhadap kejadian ISPA, bayi lebih mudah terkena ISPA dan lebih berat dibandingkan dengan anak balita (Mosley, 1984). Adanya hubungan antara umur anak dengan kejadian ISPA mudah dipahami karena semakin muda umur balita semakin rendah daya tahan tubuhnya. Menurut Tupasi et al (1988), risiko terjadinya ISPA lebih besar pada bayi berumur kurang dari 1 tahun, sedangkan menurut Sukar et al (1996), balita berumur kurang dari 2 tahun memiliki risiko lebih tinggi untuk terserang ISPA. Hasil SDKI 1991 menunjukan prevalensi pneumonia paling tinggi pada kelompok 12-23 bulan, hasil SDKI 1994 dan 1997, prevalensi paling tinggi pada kelompok umur 6-11 bulan sedangkan hasil SDKI 2002-2003, prevalensi tertinggi pada kelompok umur 6-23 bulan (Profil Kesehatan Indonesia, 2002). Hasil penelitian dr. Sutrisna (1993), membuktikan bahwa faktor usia mempengaruhi terjadinya ISPA pada balita bahkan menyebabkan kematian pada balita yang sedang menderita pneumonia. Semakin tua usia balita yang sedang menderita pneumonia, semakin kecil risiko meninggal akibat pneumonia dibandingkan balita yang berusia lebih muda.
3. Faktor Imunisasi
Faktor risiko lain yang mempengaruhi terjadinya kematian karena ISPA pada bayi dan balita adalah anak yang belum pernah diimunisasi. Diketahui hampir 43,1- 76,6% kematian ISPA tergantung pada jenis ISPA yang berkembang dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi, seperti difteri, pertusis, dan campak (Lapau, 1985; Sutrisna, 1993; WHO, 1995; Molyneux, 1996; Biddulph,1999). Penelitian Sutrisna (1993) membuktikan bahwa anak yang belum diimunisasi campak berisiko menderita ISPA-Pneumonia. Hal ini mudah dipahami karena salah satu komplikasi campak adalah ISPA yang bisa berkomplikasi menjadi pneumonia. Meskipun menurut Markum (2000) imunisasi campak hanya diperlukan oleh bayi umur 9 bulan ke atas, karena bayi umur 9 bulan ke bawah memiliki kekebalan pasif yang diperoleh dari ibu. Imunisasi DPT dapat mencegah terjadinya penyakit difteri dan pertusis. Kedua penyakit ini juga termasuk ISPA (Markum, 2000). Pemberian imunisasi lengkap harus sudah selesai pada bayi umur 1 tahun. Jika karena suatu hal sehingga imunisasi tidak tercapai maka bayi harus diimunisasi sesegara mungkin (Depkes, 1999b).
4. Faktor Vitamin A
Hubungan antara pemberian vitamin A dengan risiko ISPA telah diteliti oleh Summer (1994), sebagaimana dikutip dari Sutrisna (1993). Penelitian ini mengungkapkan bahwa anak dengan xerophtalmia ringan memiliki risiko 2 kali untuk menderita ISPA. Depkes (2000) menyebutkan bahwa keadaan defisiensi vitamin A merupakan salah satu risiko ISPA-Pneumonia. Menurut Winarno (1995) defisiensi vitamin A dapat menghambat pertumbuhan balita dan mengakibatkan pengeringan jaringan epitel pada saluran pernafasan. Gangguan epitel ini yang diduga menjadi penyebab mudahnya terjadi ISPA.
- Riwayat Terserang Campak
Kekebalan alami yang didapatkan oleh bayi atau balita yang pernah terserang campak dan sehat, akan menghindari mereka terserang ISPA (WHO, 1995).
- Faktor Jenis Kelamin
Beberapa hasil penelitian dalam Lismatina (2000) menjelaskan bahwa jenis kelamin merupakan faktor gizi internal yang menentukan kebutuhan gizi sehingga pada gilirannya ada keterkaitan antara jenis kelamin dengan keadaan gizi. Seperti hasil penelitian Chen dan Jus ’at (1992) di Baghdad dan India, menunjukkan bahwa keadaan gizi balita perempuan selalu lebih rendah dibandingkan balita laki-laki. Selain itu, penelitian yang dilakukan Malahayati (1992) di Sumatera Selatan, menunjukkan bahwa presentasi balita laki-laki status gizi baik cenderung lebih tinggi daripada balita perempuan, baik yang tingaal di daerah pedesaan ataupun perkotaan. Kecendrungan inimemang konsisten seperti yang biasanya ditemukan di India (Berg, 1986). Namun hasil yang berbeda (Jus ’at, 1991) melaporkan bahwa keadaan gizi anak perempuan lebih baik dari laki-laki. Begitu juga Sudati (1989)dalam Riswandri (2002), dari hasil analisis data Susenas 1986, didapatkan bahwa prevalensi gizi kurang dan gizi buruk pada anka lebih banyak pada kelompok laki-laki daripada perempuan. Perbedaan prevalensi antara kedua jenis kelamin belum dapat dijelaskan secara pasti apakah karena faktor genetik atau perbedaan dalam hal perawatan atau pemberian makanan.
- Faktor Gangguan Status Gizi (Malnutrisi)
Malnutrisi bertanggung jawab terhadap terjadinya ISPA pada balita, terutama di negara berkembang termasuk Indonesia. Hal ini mudah dipahami karena keadaan malnutrisi menyebabkan melemahnya daya tahan tubuh. Hal tersebut memudahkan masuknya agen penyakit dalam tubuh. Manutrisi menyebabkan resistensi terhadap infeksi menurun oleh efek nutrisi yang buruk. Hal tersebut terbukti disertai dengan pagositosis yang menurun dan lekopeni (Kartawidjaja, 2001). Menurut Unicef (1995) yang dikutup oleh Harahap (2001) bahwa kekurangan gizi berhubungan dengan lebih dari separuh kematian yang terjadi pada anak di negara-nagara berkembang. Gizi kurang merupakan faktor risiko terjadinya ISPA. Bayi dan balita dengan keadaan gizi yang kurang akan berisiko terserang ISPA dibandingkan dengan yang memilki gizi normal, karena adanya faktor daya tahan tubuh yang kurang (Victory, dkk, 1999). Nafsu makan anak akan berkurang jika ia teerkena penyakit infeksi sehingga tubuh mereka akan kekurangan gizi, dalam keadaan ini mereka cenderung terkena ISPA. Menurut Marti (1987) dikutip oleh Djaja (1999) menyatakan bahwa ada hubungan antara gizi buruk dengan infeksi paru-paru sehingga anak-anak yang bergizi buruk sering terkena pneumonia.
- Faktro Pendidikan Ibu
Ibu dengan pendidikan yang baik akan memiliki akses informasi yang lebih luas sehingga berdampak positif terhadap cara merawat bayi. Kemampuan merawat bayi oleh seorang ibu ada hubungannya dengan tingkat kemajuan masyarakat. Itulah sebabnya IMR (Infant Mortality Rate) suatu negara dijadikan sebagai parameter terhadap kemajuan negara tersebut. Menurut Soekanto (1993), pendidikan akan memberikan kesempatan kepada seseorang untuk membuka jalan pikiran dalam menerima ide-ide atau nilai-nilai baru. Hubungan pendidikan ibu dengan kejadian ISPA memiliki hubungan yang signifikan (Herrero, 1983; Sumargono,1989; Sukar et al, 1950).
- Faktor Pengetahuan Ibu
Peranan pengetahuan ibu terhadap risiko terjadinya ISPA terkait dengan motivasi seseorang merawat bayinya. Pengetahuan seorang ibu mengenai ISPA diperoleh dari pengalamannya atau dari informasi yang lain. Dengan pengetahuan yang dimilikinya, diharapkan dapt dipraktikkan dalam merawat bayinya. Hubungan antara pengetahuan ibu dan kejadian ISPA memiliki hubungan yang signifiikan (Rosmayadi, 1984; Sumargono, 1989).
- Sikap Ibu
Pandangan seseorang mengenai suatu hal atau objek yang sebelumnya telah dilihat atau didapatkan informasi merupakan istilah dari ”sikap” (Notoatmodjo, 1993). Sikap yang baik terhadap kesehatan khususnya yang berkaitan dengan ISPA, diharapkan bias dilaksanakan ibu yang mempunyai bayi dan balita sehingga dapat mencegah atau mencari pengobatan dengan cepat dan tepat.
- Faktor Ekonomi Keluarga
Biasanya dilihat dari : pertama pendapatan keluarga dan kedua kepemilikan barang. Meskipun demikian, keduanya mempengaruhi kemampuan keluarga dalam merawat bayi, bila ditinjau dari aspek finansial. Keadaan ekonomi keluarga lebih menggambarkan kemampuan keluarga tersebut untuk berupaya mewujudkan kesejahteraannya termasuk di dalamnya mewujudkan derajat kesehatannya. Sebuah penelitian telah dilakukan di Filipina, membuktikan bahwa sosial ekonomi orang tua yang rendah akan meningkatkan risiko ISPA pada anak umur kurang dari 1 tahun (Tupasi et al, 1988; Deb, 1998). Berdasarkan studi di dunia maju menunjukan suatu hubungan yang jelas antara satatus ekonomi yang diukur dengan besarnya rumah tangga, banyaknya kamar dan banyaknya orang yang menghuni kamar dengan terjadinya infeksi saluran pernafasan. Status ekonomi yang rendah dan kesesakan rumah meningkatkan frekuensi kejadian ISPA (Moesley, 1984; Singarimbun, 1988; Biddulph, 1999; Lubis, 2003).
- Faktor Pelayanan Kesehatan
Pengaruh pelayanan kesehatan terhadap status gizi yang akhirnya berpengaruh pula terhadp risiko ISPA banyak contohnya, misalnya program perbaikan bayi ibu hamil diharapkan memperbaiki pula status gizi bayi yang kelak akan dilahirkan. Demikian juga pemberian penyuluhan kesehatan oleh petugas kesehatan sedikit banyaknya akan berpengaruh terhadap status gizi dan daya tahan tubuh bayi. ISPA sering menjadi berat (pneumonia) menyerang bayi dan balita yang bertempat tinggal jauh dari fasilitas kesehatan, hal ini disebabkan terlambatnya pertolongan yang diberikan. ISPA dapat diobati tapi karena keterlambatan pengobatan dapat mengakibatkan keparahan pada panderita ISPA bahkan bisa menyebabkan kematian (Moesley, 1994).
- Pengobatan
Pengobatan yang dini semanjak anak diketahui terserang ISPA, akan mencegah bertambah berat dan seriusnya penyakit yang diderita anak. Cara pengobatan menjadi perhatian bagi orang tua, pengobatan yang benar dan tepat serta penanganan yang cepat dapat menghindari si anak menderita ISPA yang lebih berat (WHO, 1995). Pencarian pengobatan yang tepat seperti berobat kepada dokter atau bidan lebih baik dibandingkan berobat ke dukun.
- Faktor Pemberian ASI (Air Susu Ibu)
ASI merupakan suatu substansi yang hidup dengan kompleksitas biologis yang luas yang mampu memberikan daya perlindungan, baik secara aktif maupun melalui pengaturan imunologis (Boediharjo, 1994). Dari studi yang kontradiktif, ternyata peran ASI dalam mencegah ISPA tidak terlalu mencolok atau hanya terbatas pada kelompok tertentu saja (Sutrisna, 1993). Walaupun demikian, sangat banyak contoh yang berasal dari Negara berkembang bahwa ASI bersifat protektif terhadap kematian umum. Studi-studi yang mendukung bahwa ASI merupakan faktor protektif terhadap kejadian ISPA misalnya menurut laporan WHO (1986). Penelitian Allan S. Cunningham menunjukkan bahwa ASI melindungi bayi dari berbagai penyakit termasuk infeksi pernafasan dan infeksi usus. Penelitian yang dilakukan Deb (1998) membuktikan bahwa ASI memiliki daya protektif terhadap kejadian ISPA. Dharmage (1996) juga membuktikan adanya hubungan yang signifikan antara ASI dan kejadian ISPA-Pneumonia.
- Lingkungan dan Iklim Global
Adanya pencemaran lingkungan seperti asap karena kebakaran hutan, gas buang sarana transportasi dan polusi udara dalam rumah merupakan ancaman terutama penyakit ISPA. Adanya perubahan iklim global terutama faktor suhu, kelembaban, curah hujan merupakan beban dalam pemberantasan penyakit ISPA (Depkes RI, 2002; WHO, 2004).
- Kepadatan Hunian
Kepadatan hunian merupakan luas lantai dalam rumah dibagi dengan jumlah anggota kelompok penghuni (Mukono, 2000). Persyaratan kepadatan hunian untuk seluruh rumah biasa dinyatakan dalam m2/ orang. Luas minimum per orang sangan relative tergangtung dari kualitas bangunan dan fasilitas yang tersedia. Untuk rumah sederhana minimum 10 m2/ orang, jadi untuk satu keluarga yang terdiri 5 orang minimum 20 m2. untuk kiamar tidur diperlukan luas lantai minimum 3 m2/ orang dan untuk mencegah penularan penyakit pernafasan, jarak antara tepi tempat tidur yang satu dengan yang lain minimum 90 cm (Sri, 2000). Sebaiknya jangan digunakan tempat tidur bertingkat karena tempat tidur semacam ini juga mempermudah penularan penyakit pernafasan. Kamar tidur sebaiknya tidak dihuni lebih dari 2 orang, kecuali untuk suami istri dan anak di bawah 2 tahun yang biasanya masih sangan memerlukan kehadiran orang tuanya (Depkes RI, 1999a ).
- Pencahayaan
Pencahayaan harus cukup baik waktu siang maupun malam hari. Pada waktu malam hari pencahayaan yang ideal adalah penerangan listrik. Agar cahaya pada siang hari cukup, maka diperlukan luas jendela kaca minimum 20 % luas lantai. Kamar tidur sebaiknya diletakan di sebelah timut untuk memberi kesempatan masuknya sinar ultra violet yang ada dalam sinar matahari pagi (Sri, 2000). Intensitas pencahayaan minimum yang diperlukan 10 kaki, lilin, atau + 100 lux, kecuali untuk tidur tertentu diperlukan cahaya yang lebih redup. Menurut Robert Koch yang dikutip oleh Sri (2000), menyatakan bahwa semua jenis cahaya dapat mematikan kuman , hanya berbeda satu sama lain dari segi lamanya proses mematikan kuman. Cahaya yang sama apabila melalui kaca yang tidak berwarna dapat membunuh kuman dalam waktu yang lebih pendek dari pada yang melalui kaca berwarna. Agar masuknya cahaya matahari tidak terhalang sesuatu di luar rumah, maka jarak rumah yangsatu dengan yang lain paling sedikit sama dengan tingginya rumah.
- Ventilasi
Pertukaran udara (ventilasi), yaitu proses penyediaan udara segar dan pengeluaran udara kotor secara alamiah atau mekanis harus cukup. Pergantian udara sangat diperlukan dalam rumah, oleh karena itu diperlukan minimum luas lubang ventilasi tetap 5 % luas lantai, dan jika ditambah dengan luas lubang yang dapat memasukan udara lainnya (celah pintu/ jendela, lubang anyaman bamboo, dsb) menjadi 10 % dari luas lantai (Sri, 2000). Udara yang masuk sebaiknya udara bersih dan bukan udara yang mengandung debu atau berbau.
- Jenis Lantai
Jenis lantai tanah tidak baik dari segi kebersihan udara dalam rumah. Lantai yang diplester lebih baik daripada lantai tanah, namun akan lebih baik lagi kalau dilapisi ubin yang mudah dibersihkan (Lubis, 2000). Lantai tanah dapat manjadi media yang subur bagi timbulnya kuman penyakit dan media penularan bagi jenis penyakit tertentu (BPS, 2003a).
- Luas Lantai
Rumah merupakan tempat berkumpul bagi semua anggota keluarga sebagai tempat untuk menghabiskan sebagian besar waktunya sehingga kondisi kesehatan perumahan sangat berperan sebagai media penularan penyakit diantara anggota keluarga atau tetangga sekitar. Salah satu ukuran yang digunakan untuk kesehatan perumahan diantaranya adalah luas lantai rumah atau tempat tinggal. Luas lantai rumah tangga secara tidak langsung dikaitkan dengan system kesehatan lingkungan keluarga atau rumah tangga. Luas lantai rumah erat kaitannya dengan tingkat kepadatan hunian atau rata-rata luas ruang untuk setiap anggota keluarga (BPS, 2004a).
- Jenis Dinding
Jenis dinding rumah yang ada di Indonesia bervariasi mulai dari anyaman daun rumbia, anyaman bambu, papan/ kayu, pasangan bata sampai beton bertulang. Dinding anyaman daun rumbia, anyman bambu dan papan/ kayu masih dapat ditembus udara, jadi dapat memperbaiki perhawaan tetapi sulit untuk menjamin kebersihannya dari debu yang menempel (Sri, 2000). Jika di rumah terdapat anggota keluarga yang sakit pernafasan maka kuman pathogen mungkin juga ada daalm debu yang menempel pada dinding. Oleh karena itu, rumah sebaiknya memakai dinding permanent dari bahan yang mudah dibersihkan.
- Jenis Atap
Atap adalah penutup bagian atas bangunan yang melindungi orang yang mendiami di bawahnya dari teriknya matahari, hujan, dsb. Atap dari alang-alang/jerami, daun-daun serta dari ijuk sebaiknya tidak digunakan karena mudah terbakar, menyimpan debu dan disenangi oleh serangga/ burung. Atap genteng adalah atap yang tebaik untuk daerah tropis dan terjangkau oleh masyarakat (BPS, 2004).
- Lokasi
Dari hasil penelitian Warouw, dkk (2002b) dinyatakan bahwa rumah yang berlokasi di daerah banjir sangat berhubungan dengan tingginya kejadian ISPA, karena keadaan tersebut erat kaitannya dengan penularan penyakit berbasis lingkungan, dimana prevalensi ISPA pada balita di daerah banker (21,4%) lebih tinggi dibandingkan dengan di daerah tidak rawan banjir (18,4 %).
- Jenis Bahan Bakar Masak
Bahan baker yang sering ditemui di daerah pedesaan adalah menggunakan kayu (Lubis, 2003). Apabila perhawaan rumah tidak ada cerobong asap, maka asap akan memenuhi sekuruh ruangan. Apabila ibu-ibu sering masak sambil menggendong bayi atau anak balitanya, asap akan memperparah penderita sakit pernafasan, lebih-lebih bayi/ balita dan orang tua. Bahan bakar yang aman digunakan adalah bahan bakar yang tidak menimbulkan pencemaran udara indoor yang sisa pembakarannya dapat disalurkan keluar rumah. Menurut Achmadi (1991), akibat dari pembakaran kayu bakar dan bahan bakar rumah tangga lainnya, merupakan faktor risiko ISPA pada anak balita.
- Asap Rokok
Penelitian menunjuka bahwa anak-anak yang tinggi serumah dengan perokok lebih sering dirawat di rumah sakit oleh karena menderita ISPA dibandingkan anak-anak yang tidak tinggal dengan perokok (Sukar, 1997; Yeung, 2002). Menurut Haryoto (1995), asap rokok dari orang tua atau orang lain yang tinggal di dalam rumah, tidak saja merupakan bahan pencemar dalam ruang yang serius, tetapi juga akan menambah risiko kesakitan dari bahan toksik yang lain (Kusnoputranto. H, 1995). Selanjutnya menurut Woro Riyadina (1995), menyatakan bahwa pada anak-anak, paparan asap rokok (side stream smoke) dapat menimbulkan gangguan pernafasan terutama mamperberat timbulnya infeksi saluran pernapasan akut dan gangguan fungsi paru-paru pada waktu dewasanya nanti (Riyadina. W, 1995).
- Pencemaran Udara
Pencemaran udara adalah masuknya atau dimasukannya zat, energi atau komponen lain ke dalam udara oleh kegiatan manusia, sehingga mutu udara turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan atau mempengaruhi kesehatan manusia (Dawud, 2004). Termasuk dalam pengertian tersebut adalah udara dalam ruang dan luar ruang. Pencemaran udara luar ruangan utamanya disebabkan oleh emisi kendaraan dan asap industri, smoke (kebakaran hutan) sedangkan dalam ruangan disebabkan oleh asap rokok dan pencemaran di tempat kerja (Kusnoputranto, 2000a). Menurut WHO (2000) dijutip oleh Dawud (2004), bahwa pencemaran udara dalam ruangan telah meningkatkan risiko ISPA, di Asia pencemaran udara diduga berkaitan dengan kematian 0,5-1 juta anak sekitar 30-40 % kasus asma dan 20-30 % dari semua penyakit respirasi di beberapa populasi. Penelitian di Sao Paulo, Brazil menunjukan bahwa kenaikan konsentrasi NO2 sebesar 75 mg/m3 berkaitan dengan kenaikan kematian balita sebesar 30 %, perokok pasif di lingkungan yang tertutup meningkatkan kematian karena kanker paru sebesar 20-30 %. Ibu yang merokok juga meningkatkan risiko balitanya terserang infeksi pernafasan (Stein, dkk, 1999).
(Ini Adalah Tinjauan Pustaka Penelitian Saya Tentang "Gambaran Umum Resiko Kejadian Pneumonia Pada Balita Di Kelurahan Jurang Mangu, Kabupaten Tangerang Tahun 2009)
(Ini Adalah Tinjauan Pustaka Penelitian Saya Tentang "Gambaran Umum Resiko Kejadian Pneumonia Pada Balita Di Kelurahan Jurang Mangu, Kabupaten Tangerang Tahun 2009)
No comments:
Post a Comment