PENUGASAN MAKALAH ILMIAH
"FILARIASIS"
oleh: Muhammad Wahid Muslim
Dosen : Prof. dr. Hj. Siti Alisah N Abidin DTM&H dan Dra. Widiastuti S. Manan M.Si
A. ISTILAH
Filariasis adalah suatu infeksi sistemik yang disebabkan oleh cacing filaria yang cacing dewasanya hidup dalam saluran limfe dan kelenjar limfe manusia dan ditularkan oleh serangga secara biologik. Penyakit ini bersifat menahun ( kronis ) dan bila tidak mendapatkan pengobatan akan menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran kaki, lengan, dan alat kelamin baik perempuan maupun laki-laki. Filariasis disebabkan oleh tiga spesies cacing filaria, yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia timori.
Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia timori.
(Parasit'08)
B. ETIOLOGI
Cacing filaria merupakan nematoda yang hidup di dalam jaringan subkutan dan sistem limfatik. Tiga spesies filaria yang menimbulkan infeksi pada manusia; Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia timori, merupakan penyebab infeksi filaria yang serius. Parasit filaria ditularkan melalui spesies nyamuk khusus atau artropoda lainnya, memiliki stadium larva serta siklus hidup yang kompleks. Anak dari cacing dewasa berupa mikrofilaria bersarung, terdapat di dalam darah dan paling sering ditemukan di aliran darah tepi. Mikrofilaria ini muncul di peredaran darah enam bulan sampai satu tahun kemudian dan dapat bertahan hidup hingga 5 – 10 tahun. Pada Wuchereria bancrofti, mikrofilaria berukuran 250 – 300x7 – 8 mikron. Sedangkan pada Brugia malayi dan Brugia timori, mikrofilaria berukuran 177 – 230 mikron.
C. EPIDEMIOLOGI
Penyakit filariasis terutama ditemukan di daerah khatulistiwa dan merupakan masalah di daerah dataran rendah. Tetapi kadang-kadang juga ditemukan di daerah bukit yang tidak terlalu tinggi. Di Indonesia filariasis tersebar luas; daerah endemi terdapat di banyak pulau di seluruh Nusantara, seperti di Sumatera dan sekitarnya, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, NTT, Maluku, dan Irian Jaya. Untuk dapat memahami epidemiologi filariasis, kita perlu memperhatikan faktor-faktor seperti hospes, hospes Reservoar, vektor, dan keadaan lingkungan.
D. Hospes
Manusia yang mengandung parasit dapat menjadi sumber infeksi bagi orang lain yang rentan ( suseptibel ). Pada umumnya laki-laki lebih dominan terinfeksi, karena memiliki lebih banyak kesempatan untuk mendapat infeksi ( exposure ).
· Hospes reservoir
B.malayi yang dapat hidup pada hewan merupakan sumber infeksi untuk manusia. Hewan yang sering ditemukan mengandung infeksi adalah kucing dan kera terutama jenis Presbytis.
· Vektor
Banyak spesies nyamuk yang ditemukan sebagai vektor filariasis, tergantung pada jenis cacing filarianya. W.bancrofti yang terdapat di daerah perkotaan ( urban ) ditularkan oleh Cx.quinquefasciatus, menggunakan air kotor dan tercemar sebagai tempat perindukannya. W.bancrofti yang di daerah pedesaan ( rural ) dapat ditularkan oleh bermacam spesies nyamuk. Di Irian Jaya, W.bancrofti terutama ditularkan oleh An.farauti yang menggunakan bekas jejak kaki binatang untuk tempat perindukannya. Di daerah pantai di NTT, W.bancrofti ditularkan oleh An.subpictus. B.malayi yang hidup pada manusia dan hewan ditularkan oleh berbagai spesies Mansonia seperti Mn.uniformis, Mn.bonneae, dan Mn.dives yang berkembang biak di daerah rawa di Sumatera, Kalimantan, dan Maluku. Di daerah Sulawesi, B.malayi ditularkan oleh An.barbirostris yang menggunakan sawah sebagai tempat perindukannya. B.timori ditularkan oleh An.barbirostris yang berkembang biak di daerah sawah, baik di dekat pantai maupun di daerah pedalaman. B.timori hanya ditemukan di daerah NTT dan Timor Timur.
E. PATOLOGI
Perubahan patologi yang utama terjadi akibat kerusakan inflamatorik pada sistem limfatik yang disebabkan oleh cacing dewasa, bukan mikrofilaria. Cacing dewasa ini hidup dalam saluran limfatik aferen atau sinus – sinus limfe sehingga menyebabkan dilatasi limfe. Dilatasi ini mengakibatkan penebalan pembuluh darah di sekitarnya. Akibat kerusakan pembuluh darah, terjadi infiltrasi sel plasma, eosinofil, dan makrofag di dalam dan sekitar pembuluh darah yang terinfeksi dan bersama dengan proliferasi endotel serta jaringan ikat, menyebabkan saluran limfatik berkelok – kelok serta katup limfatik menjadi rusak. Limfedema dan perubahan statis yang kronik terjadi pada kulit diatasnya.
F. CARA PENULARAN
Seseorang dapat tertular atau terinfeksi penyakit kaki gajah apabila orang tersebut digigit nyamuk yang infektif yaitu nyamuk yang mengandung larva stadium III ( L3 ). Nyamuk tersebut mendapat cacing filarial kecil ( mikrofilaria ) sewaktu menghisap darah penderita mengandung microfilaria atau binatang reservoir yang mengandung microfilaria. Siklus Penularan penyakit kaiki gajah ini melalui dua tahap, yaitu perkembangan dalam tubuh nyamuk ( vector ) dan tahap kedua perkembangan dalam tubuh manusia (hospes) dan reservoair.
Gejala klinis Filariais Akut adalah berupa ; Demam berulang-ulang selama 3 ? 5 hari, Demam dapat hilang bila istirahat dan muncul lagi setelah bekerja berat ; pembengkakan kelenjar getah bening (tanpa ada luka) didaerah lipatan paha, ketiap (lymphadenitis) yang tampak kemerahan, panas dan sakit ; radang saluran kelenjar getah bening yang terasa panas dan sakit yang menjalar dari pangkal kaki atau pangkal lengan kearah ujung (retrograde lymphangitis) ; filarial abses akibat seringnya menderita pembengkakan kelenjar getah bening, dapat pecah dan mengeluarkan nanah serta darah ; pembesaran tungkai, lengan, buah dada, buah zakar yang terlihat agak kemerahan dan terasa panas (early lymphodema). Gejal klinis yang kronis ; berupa pembesaran yang menetap (elephantiasis) pada tungkai, lengan, buah dada, buah zakar (elephantiasis skroti).
G. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis sebagai infeksi W.bancrofti terbentuk beberapa bulan hingga beberapa tahun setelah infeksi, tetapi beberapa orang yang hidup di daerah endemis tetap asimptomatik selama hidupnya. Mereka yang menunjukkan gejala akut biasanya mengeluh demam, lymphangitis, lymphadenitis, orchitis, sakit pada otot, anoreksia, dan malaise. Mula–mula cacing dewasa yang hidup dalam pembuluh limfe menyebabkan pelebaran pembuluh limfe terutama di daerah kelenjar limfe, testes, dan epididimis, kemudian diikuti dengan penebalan sel endothel dan infiltrasi sehingga terjadi granuloma. Pada keadaan kronis, terjadi pembesaran kelenjar limfe, hydrocele, dan elefantiasis. Hanya mereka yang hipersensitif, elefantiasis dapat terjadi. Elefantiasis kebanyakan terjadi di daerah genital dan tungkai bawah, biasanya disertai infeksi sekunder dengan fungi dan bakteri. Suatu sindrom yang khas terjadi pada infeksi dengan Wuchereria bancrofti dinamakan Weingartner’s syndrome atau Tropical pulmonary eosinophilia.
Gejala yang sering dijumpai pada orang yang terinfeksi B.malayi adalah lymphadenitis dan lymphangitis yang berulang–ulang disertai demam.
Perbedaan utama antara infeksi W.bancrofti dan B.malayi terletak pada klasifikasi ureter dan ginjal. Klasifikasi ureter dan ginjal tidak ditemukan pada infeksi B.malayi.
H. DIAGNOSIS
1.Diagnosis Parasitologi
a. Deteksi parasit : menemukan mikrofilaria di dalam darah, cairan hidrokel atau cairan kiluria pada pemeriksaan sediaan darah tebal, teknik konsentrasi Knott, membran filtrasi dan tes provokatif DEC.
b. Diferensiasi spesies dan stadium filaria : menggunakan pelacak DNA yang spesies spesifik dan antibodi monoklonal.
2. Radiodiagnosis
a. Pemeriksaan dengan ultrasonografi ( USG ) pada skrotum dan kelenjar getah bening ingunial.
b. Pemeriksaan limfosintigrafi dengan menggunakan dekstran atau albumin yang ditandai dengan adanya zat radioaktif.
3. Diagnosis imunologi
Dengan teknik ELISA dan immunochromatographic test ( ICT ), menggunakan
antibodi monoklonal yang spesifik.2
I. TERAPI dan PENCEGAHAN
Obat utama yang digunakan adalah dietilkarbamazin sitrat ( DEC ).5 DEC bersifat membunuh mikrofilaria dan juga cacing dewasa pada pengobatan jangka panjang. Hingga saat ini, DEC merupakan satu-satunya obat yang efektif, aman, dan relatif murah. Untuk filariasis bankrofti, dosis yang dianjurkan adalah 6mg/kg berat badan/hari selama 12 hari. Sedangkan untuk filaria brugia, dosis yang dianjurkan adalah 5mg/kg berat badan/hari selama 10 hari. Efek samping dari DEC ini adalah demam, menggigil, artralgia, sakit kepala, mual hingga muntah. Pada pengobatan filariasis brugia, efek samping yang ditimbulkan lebih berat. Sehingga, untuk pengobatannya dianjurkan dalam dosis rendah, tetapi waktu pengobatan dilakukan dalam waktu yang lebih lama.2
Obat lain yang juga dipakai adalah ivermektin.5 Ivermektin adalah antibiotik semisintetik dari golongan makrolid yang mempunyai aktivitas luas terhadap nematode dan ektoparasit. Obat ini hanya membunuh mikrofilaria. Efek samping yang ditimbulkan lebih ringan dibanding DEC.
Pengobatan kombinasi dapat juga dengan dosis tunggal DEC dan Albendazol 400mg, diberikan setiap tahun selama 5 tahun. Pengobatan kombinasi meningkatkan efek filarisida DEC. Yang dapat diobati adalah stadium mikrofilaremia, stadium akut, limfedema, kiluria, dan stadium dini elefantiasis.
Terapi suportif berupa pemijatan dan pembebatan juga dilakukan di samping pemberian antibiotika dan corticosteroid, khususnya pada kasus elefantiasis kronis. Pada kasus-kasus tertentu dapat juga dilakukan pembedahan.2
J. DAFTAR PUSTAKA
1. Waluyo, Jangkung Samidjo. 2002. Parasitologi Medik (Helmintologi) : Pendekatan Aspek Identifikasi, Diagnosis, dan Klinik. Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta.
2. Tim Editor Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2002. Parasitologi
Kedokteran Edisi Ketiga, cetakan ketiga. Balai Penerbit FKUI : Jakarta.
4. Sandjaja, Dr. Bernardus, DMM, DTM&H, MSPH. 2007. Helmintologi Kedokteran. Prestasi Pustaka : Jakarta.